Tahukah anda bahwa Desa Ciparakan yang terletak di Kecamatan Kalipucang, Pangandaran merupakan gudangnya ilmu mantra? Di desa ini berbagai jenis mantra mudah sekali ditemukan dan ternyata masyarakatnya pun masih menggunakan mantra dalam kehidupannya sehari-hari. Mulai dari mantra yang digunakan untuk memulai suatu pekerjaan (Jangjawokan), mantra untuk menyembuhkan penyakit (Jampé), mantra dalam urusan menguasai jiwa yang lain (Asihan), mantra agar memiliki kekuatan (Ajian), mantra agar tidak diganggu oleh bangsa jin (Singlar), dan mantra yang digunakan untuk keselamatan (Rajah).
Mantra sebagai salah satu karya sastra puisi buhun (kuno) lahir dalam masyarakat Sunda primitif. Menurut Hauser (dalam Faruk, 2013:12), kesusastraan zaman primitif ini terbagi menjadi dua, yakni ketika masyarakat masih dalam pola produksi sebagai masyarakat berburu, misalnya, seni cenderung meniru alam karena berfungsi sebagai kekuatan yang secara langsung menghadirkan binatang buruan. Yang kedua ketika masyarakat mulai mengalami domestikasi, bergerak ke arah pertanian dan perkebunan. Nah disaat itulah Mantra diciptakan sebagai bukti kecerdasan masyarakat Sunda saat itu, yang mulai tumbuh kesadaran baru mengenai adanya kekuatan di luar kekuatan manusia, yakni gagasan mengenai kepercayaan terhadap dewa-dewa, karuhun (red: roh nenek moyang) dan sebagainya.
Seiring dengan mulai diperkenalkannya Islam, mantra dianggap tabu dan kontradiktif, bertentangan dengan agama karena menyekutukan Tuhan, itulah anggapan negatif sebagian masyarakat kita terhadap mantra. Padahal tidak semua mantra yang menyebar secara lisan dan hidup berkelanjutan di tengah masyarakat Sunda ini bisa digeneralisasikan ke dalam satu anggapan. Nyatanya bisa kita temukan pada jampé Ubar Haté (terj: obat sakit hati), salah satu mantra jenis jampé yang ditemukan tim peneliti KKL Sastra Sunda 2016 di Desa Ciparakan. Mantra ini terdapat beberapa keunikan, baik dalam nilai estetika keindahan yang ditandai dengan adanya purwakanti hingga syarat yang harus dipenuhi yang berkesusaian dengan ajaran agama Islam.
JAMPÉ UBAR HATÉ
Bismillahirrahmanirrahim
Rup kurung rap kurincang
Dikandung dibawa nangtung
Dikundang dibawa leumpang
Sang komara datang
Seperti yang telah saya sebutkan di atas, bahwa sama halnya dengan jenis karya sastra puisi lain, dalam Mantra pun terdapat nilai estetika keindahan yang ditandai dengan hadirnya purwakanti atau dalam bahasa Indonesia disebut rima. Sebagai contoh kita lihat pada kalimat rup kurung rap kurincang (u+u+u, a+a). dalam sastra Sunda, keindahan seperti ini disebut purwakanti Maduswara, yakni suara di ujung vokal pada kata-katanya sama, begitupun pada baris kedua dikandung dibawa nangtung (u+u), ketiga dikundang dibawa leumpang (a+a), dan keempat sang komara datang (a+a+a).
Perlu kita ketahui bahwa Jampé Ubar haté digunakan untuk menyembuhkan hati yang lara karena merasa disakiti oleh lawan jenis. mantra ini akan berfungsi apabila keadaan pemakainya memang dalam keadaan terpuruk karena perlakuan orang yang dituju sangat menyakitkan hati, seperti menghina, berkata kasar, atau bahkan sampai melakukan kekerasan secara fisik, dan jampé ubar haté ini tidak akan berfungsi apabila pemakainya tidak mengalami perlakuan apa-apa.
Apabila kita bandingkan jampé ubar haté dengan hadits Nabi tentang kuatnya doa orang yang teraniaya, hal tersebut sungguh tidak ada pertentangan. Dalam pemaknaan hadits yang menerangkan bahwa “tidak ada penghalang doa orang yang teraniaya dengan Allah” (H.R Muttafaq ‘alaih), meski Allah SWT melarang kita mendoakan keburukan terhadap orang lain, namun khusus bagi orang yang teraniaya Allah SWT membolehkannya, jadi saat orang yang teraniaya mendoakan yang menyakitinya agar ditimpa musibah, Allah SWT akan mengabulkannya. Dan wajar saja bukan apabila jampé yang digunakan terbukti ampuh apabila “syaratnya terpenuhi” karena Nabi pun menyebutkan bahwa tidak ada penghalang doa orang yang didzalimi dengan Tuhannya. Maka penting sekali untuk kita bersikap hati-hati memperlakukan orang-orang di sekitar kita, jangan sampai sikap kita membuat orang lain kecewa lalu mendoakan hal-hal yang tidak baik dan justru akan membuat kita sendiri yang teraniaya.
Alasan kedua yang memperkuat tentang mantra ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam adalah terletak pada pembukaan jampé ubar haté yang diawali dengan pengucapan lafadz Basmallah. Dalam kepercayaan umat Islam, fungsi dari kalimat basmallah sangatlah penting. Sebelum kita melakukan pekerjaan dianjurkan untuk membaca basmallah dengan harapan agar Allah SWT memberikan kemudahan dan keridhoan Allah SWT. Disadari atau tidak, bahwa pengucapan basmallah adalah bukti kepasrahan kita terhadap berbagai hal yang kita kerjakan. Pada hakikatnya kita telah berikrar kepada Allah SWT sebagai pemegang kehidupan bahwa kehendak-Nya di atas segala-galanya.
Sebenarnya, selain jampé Ubar haté, masih banyak mantra jenis lain yang diawali dengan kalimat basmallah. Selain itu pada ungkaranya (red: kalimat) juga sering temui kalimat-kalimat tauhid bahwa Allah-lah Zat yang memberikan kekuatan. Hal ini juga mengindikasikan bahwa Mantra kini disesuaikan dengan ageman (kepercayaan) masyarakat Sunda yang mayoritas sudah memeluk agama Islam. Kepercayaan yang masuk tidak serta merta menghilangkan kekayaan yang telah diwariskan oleh paranenek moyangnya, adanya proses akulturasi justru mampu menambah kekayaan khazanah sastra Sunda. Lalu, masih berlakukah anggapan negatif masyarakat terhadap mantra peninggalan karuhun ini jika ternyata dalam bagiannya selaras dengan ajaran agama Islam? Mari, jadilah manusia yang bijak, jangan mudah menilai sesuatu yang tidak kita pahami. Telusuri, pelajari, dan maknailah.
Komentar
Posting Komentar