Heni
Meliyanawati
Ku titipkan kisah pada
ribuan senja,
Kemilau jingga di
langit Yogyakarta,
Januari pertama di tahun 2015
Bagai tulisan
yang kehilangan kata-kata, tak berbahasa dan jauh dari makna. Kosong dan terasa
hampa, begitulah aku saat merindunya. rindu kepada ia yang tak mungkin kembali,
meski ia seringkali menyelinap diantara bayang-bayang samar. Rindu yang semakin
mendesak,
Rindu ini untuk dia.
Kini aku setuju, bahwa kedekatan dalam persahabatan
yang terjalin diantara dua manusia yang berbeda, lama-lama akan menimbulkan
sebuah percikan api asmara. Salahkah? Tidak terlalu. Ini hanya siklus yang
terjadi akibat seringnya kita berdekatan dan berbagi “kehidupan”, sebab hanya
kepada dia aku ceritakan semua resah dan bahagiaku sejak aku menjadi anak
rantau yang jauh dari keluarga, tak ada lagi tempat mengeluh, hanya dia yang
menggenggam erat tanganku ketika aku membutuhkan. kehadirannya yang membuatku
merasa aman dan nyaman. Iya, dia sahabatku yang membuatku mengenal perasaan
tentang cinta.
Dulu, di awal masa perkuliahan, kita yang berbeda
jurusan berkenalan dengan cara yang tidak biasa. aku mengenalnya dari iklan di
media sosial yang sering menawarkan berbagai jenis buku yang dibutuhkan
mahasiswa. Aku yang mengandalkannya ketika aku sulit menemukan buku yang ku
cari diantara rak-rak toko buku yang berjajar jalan-jalan kota. Tak perlu waktu
lama, buku pesananku dia antarkan tepat ke alamat kosanku. Hubungan yang kami
jalin awalnya hanya sekedar antara konsumen dan si penjual buku, sampai pada
akhirnya kami tertarik untuk mengenal satu sama lain. dalam batas pertemanan.
“Baru
baca buku ini ya, Mba?” ujarnya, ketika aku keluar kosan dan melihat dia yang sedang menunggu di ayunan berwarna hijau
tua yang besinya sudah berkarat dan terkelupas. Bunyi derit menggigit
bersuit-suit, aku keluar dengan wajah yang tersenyum manis. Dengan memakai tas
putih lusuh dengan celana dan jaket jeans
yang warnanya sudah memudar, kaos oblong dan topi yang menutupi rambutnya yang
sedikit gondrong, dia mengeluarkan buku yang aku pesan.
“Ini buku ketiga yang mba beli dari saya, dan ini ada bonus buku yang saya pinjamkan dan
boleh mba kembalikan ketika sudah
selesai membacanya, hehe.” Mukanya
merona menyiratkan rasa bahagia.
“Cinta sang Sufi, buku tentang apa ini?” tanyaku
yang sedikit penasaran karena judulnya yang mengarah kepada keagamaan. Sebenarnya
aku kurang tertarik dengan jenis buku yang seperti ini, terlalu berat dan
sepertinya membosankan, lalu dia menjelaskan sedikit tentang isinya dan
bercerita dengan gaya bahasa yang menarik, gestur tubuhnya pun ikut mendukung
performanya yang berhasil membuatku terdiam dan fokus memperhatikan.
Sampai
waktu menunjukan tepat pukul 17.00, gumpalan awan hitam mulai menyelimuti
langit Jogjakarta, rintik hujan mulai membasahi tanah yang kering, dan
pertemuan kami hari itu terpaksa harus berakhir. Aku kembali masuk ke dalam dan
dia berlalu sambil berlari menghindari hujan.
***
Sabtu,
18 Oktober.
Dia
mengajakku ke pasar buku langganannya. Aku yang kebetulan tidak ada kegiatan,
mengiyakan ajakannya saat itu. Dengan memakai kaos pendek berwarna merah muda, celana
jeans di atas mata kaki, sepatu merah
dengan rambut yang terurai panjang, dan bibir yang ku olesi lipstick berwarna
netral, aku menunggu dia hampir setengah jam. Rasa kesal mulai menggelayuti,
bosan karena menunggunya terlalu lama, aku yang berulang kali melihat jam
tanganku, namun dia tak kunjung datang.
“Maaf
saya telat, tadi saya harus mengantarkan buku ke kediaman dosen saya, beliau
memintanya mendadak, maaf sekali.” Wajahnya memelas, aku hanya tertawa melihat dia
yang merasa sangat bersalah.
“Sudahlah,
tidak apa-apa, hanya telat lima puluh lima menit saja. Jadi, siapkah Panji ajak
saya jalan-jalan hari ini?”
“Tentu
saja, saya kan sudah janji,”
Dengan
menaiki bus yang penuh dengan penumpang, kami berdiri berdesakkan dengan
penumpang lain. Panasnya cuaca Jogja saat itu membuatku sangat berkeringat. Dia
khawatir melihatku yang juga kehausan, lalu ia menawarkan sapu tangannya untuk
mengelap keringatku agar tidak terlalu bercucuran.
“Sebentar lagi juga kita sampai,” dia
tersenyum dan aku hanya mengangguk. Sebenarnya aku menggerutu di dalam hati,
tak kuat rasanya menahan kaki yang pegal, kepala juga mulai terasa pusing. Tiga
puluh menit aku bertahan dengan sesaknya keadaan di dalam bus. Tak ada satu
orang pun yang menawarkan tempat duduknya kepadaku. Jahat sekali.
Pukul
13.15 menit, kami sampai di tempat tujuan. Hanya tumpukan buku ku lihat sejauh
mata memandang. Toko buku berjajar rapi dari barat hingga ke timur, orang-orang
berlalu lalang mencari berbagai jenis buku yang mereka butuhkan. Tua muda semua
sama saja, tak ada yang lebih dominan, parapenyuka buku semuanya berkumpul di
tempat ini.
“Di
sini tempat saya mencari penghidupan.” Ujarnya sambil tersenyum. Kami
melangkahkan kaki, memasuki area yang hawanya sangat menyejukkan pikiran dan
perasaan. Terpesonanya aku melihat karya manusia yang tertuang dalam lembaran
yang terbungkus rapi. ingin sekali semuanya ku bawa pulang, lalu membaca dan
mengetahui ‘isi otak’ mereka.
“Kita
cari minum dulu ya, setelah itu saya kenalkan kamu ke Pak Mukhlis,”
“Siapa
Pak Mukhlis?”
“Nanti
juga kamu tahu, sekarang kita ke arah sana.”
Hiruk
pikuk kota Jogja saat itu menemani langkah kami menyusuri tiap toko buku
yang dipenuhi dengan parapelanggan. Seketika mataku tertuju pada salahsatu jongko yang
menawarkan buku-buku sastra, terhenti langkahku tertinggal oleh
langkahnya yang semakin menjauh. Aku yang asyik membaca sampai tidak menyadari
bahwa ia telah melangkah pergi.
“Ya
Tuhan! kamu saya cari kemana-mana, ternyata ada di sini,” raut wajahnya
terlihat sangat khawatir, aku juga terkejut melihat dia yang tiba-tiba datang
dengan tarikan nafas yang tak beraturan. Aku lagi-lagi hanya bisa tersenyum,
dan dia kali ini juga ikut tersenyum dengan sedikit menggelengkan kepalanya.
Lalu
kami mulai melangkah lagi, dia menggenggam tanganku mungkin agar tidak terpisah
lagi. Saat itu, hatiku mulai bergetar, ada perasaan yang aneh, ini tidak
seperti biasa. Jantungku berdetak sangat kencang, aku menggigit bibirku, gugup
dan tak tahu harus bertindak apa. Senang dan sangat bingung.
“Selamat
siang Pak Mukhlis,” ucapnya ramah kepada seorang lelaki tua penjaga toko buku
bertuliskan Fadjar Bersinar.
“Nak
Panji! Datang bersama siapa kau? dulu pertama kau bawa wanita bukan dia, kan?”
tanyanya sambil memandang ke arahku.
“saya
Nina, Pak. Temannya Panji.” Ku sodorkan tangan kananku, beliau sambut dengan
raut wajah yang ramah.
Bukan
dia? Siapa yang Pak Mukhlis maksud? Adakah wanita lain yang pernah Panji ajak
juga ke tempat ini? Ah pikiranku kacau, rupanya ada cemburu yang mulai menghantam,
baru tadi ku merasa bahagia, kini semua terbalik hancur berantakan. Lagipula,
kita hanya teman, lalu buat apa aku cemburu? Aku juga tidak tahu apakah Panji sudah
ada yang punya atau belum. mungkin saja wanita yang dulu ia bawa itu pacarnya,
atau teman wanitanya yang lain? atau…
“Hey!
Kenapa kamu melamun?” pertanyaan Panji memecahkan lamunanku saat itu.
“Enggak, siapa yang melamun? Saya masih
terkagum melihat luasnya pasar buku ini, hehe.
Terimakasih ya sudah ajak saya kesini.” Ucapku dengan senyuman yang menutupi
kegalauanku saat itu.
Suasana
senja telah terasa, rintik hujan di sore hari kembali menyapa. Kami memutuskan
untuk mengakhiri perjalanan hari ini dengan membawa beberapa buku yang ia pilihkan
untukku. Bahagia sekali aku saat itu, terbayang selalu senyumnya yang teduh, perkataannya
yang menenangkan jiwa, puisi-puisinya yang romantis, dan… apakah aku mulai
jatuh cinta?
Kami
tiba di kossan saat malam menjelang, tak banyak lagi kata yang terucap, kami
sudah sama-sama lelah. Aku masuk ke dalam dan dia kembali pulang. “Sampai
berjumpa lagi, Panji,” ucapku di dalam hati.
***
Di
kamar kossan berukuran dua kali tiga meter, ku rebahkan badan kecilku, ku hirup
aroma wangi dari pengharum ruangan yang ku simpan di ujung kamarku. Selesai
membersihkan badan dari keringat siang tadi, ku sadari bahwa episode baru dalam
hidupku telah ku mulai. Ada dia yang kini hadir memberi warna baru dalam
kehidupanku. Perjalanan ini mungkin akan menemukan liku tajam, namun aku tak
boleh menyerah.
Tidak
lama kemudian, sayup-sayup dering teleponku terdengar oleh kedua telingaku, ada
pesan yang masuk.
Bukunya
jangan lupa dibaca, jangan sampai hanya jadi hiasan di rak bukumu saja. :)
Senyumku
mengembang, hatiku dipenuhi kembang setaman. Ah, Panji. Baru saja aku memikirkanmu,
kini pesan singkatmu semakin menambah penasaranku tentang perasaan ini. Ku
diamkan pesannya dan berpikir sejenak, enaknya
aku balas apa ya?
Siap
Pak Panji, lain kali kalo merekomendasikan buku yang ringan-ringan saja, ini
sih ketebelan, hehe :)
Dia
hanya membalas pesanku singkat,
Selamat
membaca :)
Akan
ada kejutan apa lagi dari kamu untukku, Ji?
***
Dedaunan
jatuh berguguran menimpa rerumputan. Langit mulai menjingga, burung kecil
hinggap di beberapa dahan, aku masih terdiam mendengarkannya bercerita.
Seperti
telah terjadwal, dia selalu datang saat senja menjelang. Dengan buku dan sejuta
cerita, ia siap berbagi hal apapun yang ia ketahui kepadaku. Aku menjadi
pendengar yang baik untuknya, ku temani ia dengan secangkir teh hangat dan
beberapa makanan ringan ku sediakan di atas meja di pelataran kosan.
Berbeda
dengan kosan lainnya, pekarangan di kosanku terbilang cukup luas. Ada beberapa
bunga yang tumbuh berdampingan dengan pohon rimbun yang tinggi menjulang,
itulah mengapa hawa di kosanku tidak terlalu panas. Kamar di kosanku banyak
yang kosong, mungkin karena jarak kosan yang cukup jauh dari kampus, hanya ada mba
Linda, mba Tuti, mba Kanya, dan aku. Empat wanita tangguh
yang hidup dalam ‘keterasingan’.
Konsentrasi
kami terganggu ketika telepon Panji tiba-tiba berdering kencang, dengan cepat
ia membuka handphonenya, ia sedikit menjauh dan mulai mengobrol dengan
seseorang. Aku dicampakkan.
Awalnya
aku tak pernah diberi keberanian untuk bertanya tentang siapa orang yang
membuatnya tersenyum kecil ketika ia mengobrol di ujung telepon itu. Mungkinkah
itu wanita yang Pak Mukhlis maksud tempo hari? Kenapa sampai sekarang ia tak
pernah jujur bahwa ia telah dimiliki seseorang? Lalu maksud dari kedekatan kita
selama ini apa, Ji? Pertanyaan aneh ini kembali muncul, kedekatan apa yang kamu
maksud, Nin? Tentu Panji hanya menganggapmu sahabat, tidak mungkin lah ada perasaan lebih, yang benar saja.
“Siapa,
Ji?” tanyaku memberanikan diri.
“emmm, pacarku, Nin,” dia tersenyum
kecil,
deg!!! Terkejutnya aku mendengar jawaban yang keluar dari
mulutnya, seperti petir di siang bolong, ia menyambar tepat di relung hatiku
yang paling dalam. Ada yang pecah, serpihan hati ini berserakan tak
terselamatkan.
Ku
coba tuk bersikap baik-baik saja. Ini normal, tak ada yang harus dikhawatirkan.
Wajar jika ia sudah mempunyai pacar. Ku tarik nafas dalam-dalam, ku buang
perlahan, dan senyumku kembali mengembang.
Dialog
kami saat itu kami ubah menjadi curhatan Panji
tentang pacarnya. Ternyata Panji telah berpacaran sejak awal kuliah. Mereka
telah terikat janji dengan cincin yang telah melingkar di jari manis
kekasihnya. Keadaan yang berjarak membuat mereka tidak sering bertemu. Pacarnya
yang kebetulan gagal dalam tes masuk perguruan tinggi membuatnya harus rela
untuk berdiam dulu di rumah, sesekali Panji sering menemuinya dan membawakan
buku-buku latihan soal agar kekasihnya bisa mengikuti jejaknya untuk berkuliah.
Sejak
ku mendengar tentang pacarnya, aku tak berani lagi bermimpi tentang aku dan
dirinya. Ku buang jauh keinginan untuk memilikinya. Cukuplah ia sebagai
sahabatku saja, aku tidak boleh menginginkannya lebih.
***
Nin,
besok ada pagelaran wayang kulit di alun-alun, kita nonton yuk.
Ajakan
Panji memecahkan konsentrasiku saat itu. Pesannya masuk ketika aku sedang
asyik-asyiknya membaca novel Misteri
Gelas Kembar, di taman kampus.
Enggak
ah, aku kan gak ngerti bahasanya, Ji. Waktu pertama kita nonton aja aku hanya
melongo, kamu mah asyik ketawa
sendiri :(
Pertunjukan
wayang kulit yang menggunakan bahasa Jawa, bagi penonton yang tidak mengerti
bahasanya tentunya akan mengalami kesulitan dalam memahami percakapan dalam
pagelaran wayang kulit. Ini bisa jadi alasan untuk aku menolak ajakan Panji,
aku tak ingin terlalu sering berada di samping Panji, memanjakan perasaan yang
merekah kian mengembang, lalu kami semakin dekat dan terjebak dalam cinta yang
terlarang, hal ini tidak boleh terjadi. Aku harus menghargai wanita yang kini
telah memilikinya, statusku di sini hanyalah sebagai sahabat, tak ada ikatan
dan memang tidak boleh ada ikatan apa-apa. Tentang perasaanku, biarlah ia
berlalu.
Haha,
janji deh nanti saya gak bakalan sibuk sendiri. Saya bisa jadi translator buat
kamu :) Nanti saya traktir beli kuluban
godhong gandhul, deh. atau mau blendhung?
:D saya jemput kamu selepas magrib. Sampai ketemu besok :)
Kebiasaan
Panji, belum juga dijawab iya atau enggaknya,
dia selalu saja langsung menyimpulkan. Baiklah, ini hanya menonton wayang. Dia
mengajakku mungkin karena tidak ada teman. fyuhh.
***
Esoknya,
hari Minggu, 23 November. Panji datang dengan wajah yang berbeda. Rambutnya ia
pangkas rapi, terlihat lebih segar dari biasanya, hanya pakaiannya yang masih
tetap sama, kaos oblong berwarna abu tua dengan celana jeans tanpa sobekan dan
jaket yang ia bawa. Panji hari ini tercium lebih wangi.
“Cantik
sekali kamu, Nin, kaos putihmu tampak serasi dengan saya yang memakai kaos berwarna
abu,” dia tertawa lepas, kemudian ia memuji rambutku yang tebal, bibirku yang tipis merah
merona, dan pakaianku yang sebenarnya biasa saja.
“Berlebihan
kamu, Ji.” Aku tersenyum kecil.
Selepas
Magrib banyak orang berduyun-duyun menuju lapangan alun-alun, mereka berlalu
lalang membeli jajanan pasar di pedagang yang berderet di sekelilingnya. Anak
kecil berlari kesana kemari, mereka tertawa di tengah gegap gempitanya malam
Jogjakarta.
Panji
mengajakku duduk di salah satu jongko jajanan pasar, pertunjukan wayang yang
dimulai pukul 21.00 membuat kami leluasa untuk mengobrol. Panji yang mengetahui
bahwa aku masih jomblo terkadang
menjadi bahan guyonannya, dia tertawa tak terkendali, terbahak-bahak seolah
nasibku lah yang paling malang. Tapi aku tak pernah ambil pusing, sebab dia
sahabatku, ejekannya tak berarti dia benar-benar mengejek.
Pagelaran
wayang hampir dimulai, dia menggandeng tanganku kuat-kuat, kami berdua menuju
tengah lapangan, berdesakan bersama ratusan orang yang memadati tempat
pegelaran. Bulan bersinar, malam begitu terang, tak ada gumpalan awan yang
menggantung, keindahan langit Jogja yang sulit terlukiskan.
Aku
duduk tepat di sampingnya, pagelaran selama semalam suntuk ini menjadi ruang
yang tepat untuk melewatkan malam, berefleksi dan memahami filosofi Jawa. Irama
gamelan yang rancak berpadu dengan
suara merdu sinden sama sekali tidak membuatku merasa ngantuk. Cerita yang dibawakan
sang dalang, yang diterjemahkan oleh Panji, membawaku larut seolah ikut masuk
menjadi salahsatu tokoh dalam kisah yang dibawakan dan akupun segera menyadari
betapa agungnya budaya Jawa masa lalu.
***
“Mencari
jodoh itu tak seperti mengerjakan soal matematika. Ia murni rahasia. dikejar
malah lari, didiamkan eh malah mendekat sendiri. Kamu ya jangan terlalu
repot-repot, gunakan saja tenagamu untuk hal yang lebih bermanfaat.” Ujar Panji
ketika aku bercerita tentang beberapa laki-laki yang mulai mendekatiku.
“Aku
bingung, Ji, mereka semua baik kepadaku, tapi kenapa mereka harus menyatakan
cintanya sekarang. Akunya itu loh Ji yang belum siap. Nanti gimana kalo salah
pilih,”
“Kamu
suka ndak sama salahsatu diantara
mereka? Kalo ndak suka semua, ya
abaikan saja.”
“Mengabaikan mereka lalu aku jomblo terus, gitu??”
“Seberapa
penting sih status pacaran untuk kamu, Nin? santai sajalah,”
Aku
terdiam, tak lagi banyak bicara, aku merenungi kalimat demi kalimat yang Panji
lontarkan. Benarnya ucapan Panji membuatku sedikit marah. Aku memang terobsesi
untuk cepat memiliki pacar agar aku bisa melihat reaksi dia saat aku bersama
yang lain. aku ingin tahu juga tentang perasaan dia kepadaku, benarkah kasih
sayangnya hanya sebatas kepada sahabat? Atau perasaan lain yang sama persis
seperti yang aku rasakan?
“Sku
bosan diejek jomblo terus sama kamu,
Ji.”
“Loh?
Hanya itu alasan kamu ingin punya pacar? Haha. yang benar sajaaa.” Dia
mengacak-ngacak rambutku. Aku menangkisnya tangannya, wajahku murung dan
menatap lurus ke depan.
“Dengarkan
saya Nin, berhubungan dalam konteks apapun, harus dilandasi keseriusan dan
komitmen. Kalo niatnya hanya untuk hal yang sepele, lebih baik jangan
diteruskan.”
“Bagaimana
kabar pacarmu?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Dia
baik. Oh iya Nin, lusa nanti ada launching
novel dari penulis terkenal. Kamu mau ikut ndak?”
“Aku
gak bisa Ji, aku udah ada janji ketemuan.”
“Sama
siapa? Laki-laki lagi?”
“Iya
laki-laki, Prof. Purnomo! Rencananya pekan nanti aku diajak beliau penelitian ke
kampung Serangan, meneliti tentang cara penatah keris.”
“Baiklah,
saya pergi sendiri saja,”
“Ajak
pacarmu lah kali-kali,” aku tertawa terbahak-bahak.
Dia
menatapku serius, matanya jatuh tepat ke mataku, aku memalingkan muka, detak
jantung ini berdetak lebih kencang. Dia memegang tanganku lalu ia lepaskan
kembali. Sepersekian detik semesta membisu, dedaunan yang jatuh di atas
kepalaku terasa seperti dentuman yang bersuara keras. Panji tak bereaksi lagi,
di wajahnya tergambar sebuah kegamangan yang coba ia singkirkan.
“Saya
ada sesuatu untuk kamu, bacalah nanti ketika kamu telah sampai di kosan.”
Dia
memberiku lipatan kertas. Dan kami menikmati senja dengan kebisuan yang
tercipta.
“Kamu
lapar ndak?” tanyanya.
***
18 Desember,
Dia
mengajakku berjalan-jalan menyusuri sebuah kota yang belum pernah ku datangi sebelumnya.
Kota yang biasa saja, hanya ada pom di salah satu sudutnya, toserba di sudut
yang lain, dan beberapa buah pohon yang tumbuh di pinggir jalan.
“Toko buku
lagi?” ucapku.
“Ada yang
lain, kamu penasaran ndak?”
“Biasa aja
sih. ini kita turun dimana? Bus nya kok nggak berhenti?”
“Sabar,
kita kan belum sampai.”
Empat
puluh menit berlalu, akhirnya kami tiba di sebuah gang kecil di sudut kota.
Kami berjalan kaki cukup jauh, dengan membawa beberapa dus berisi buku bacaan, kami
melangkah entah menuju kemana.
Terlihat
hamparan sawah yang membentang, biji padi yang menguning tanda akan panen,
beberapa anak berlarian mengusir burung, anak perempuan terlihat asyik
menggoyangkan benang yang terhubung ke orang-orangan sawah.
Taman Baca Surgawi, nama yang tertera di
sebuah bangunan kecil yang terlihat usang. Di dalamnya ku lihat beberapa anak
kecil sedang asyik membaca buku.
“Siapa
mereka?”
Beberapa
anak datang menghampiri kami, lalu memanggil Panji dengan sebutan kakak. Aku
mencoba tersenyum ramah dan menyapa lalu memperkenalkan diri. Panji mengajakku
bermain bersama beberapa anak yang terlihat sangat kotor sekali. Ku biarkan
diri larut dalam suasana yang baru pertama kali aku alami. Mereka mulai usil,
mengerjaiku dengan menggelitiki badan dan kami tertawa bersama-sama. Dari
kejauhan Panji hanya tersenyum melihat kedekatan kami semua.
Panji
menarik tanganku,
“Sebentar
ya, kakak ada urusan dulu,”
Kami
berlari kecil meninggalkan kerumunan anak-anak yang menghela nafas panjang
tanda kecewa. Panji mengajakku ke suasana sunyi, berjalan di petakan sawah,
lalu berhenti di bawah pohon rimbun yang sejuknya menenangkan.
“Surat
dari saya sudah kamu baca?”
Aku
mengangguk dan tersenyum ke arahnya, lalu memalingkan muka, kembali menikmati
angin persawahan yang menerpa wajahku.
“Nin,”
“Sudahlah
Panji, apa maksud dari semua ini? Kita tidak mungkin memiliki hubungan lain
selain hanya persahabatan. Ingat, sudah ada wanita lain dihidup kamu. Dia yang
lebih berarti dari hadirnya aku.”
“Saya
memang sudah terikat, tapi hati? Hati ini lebih memilih kamu, Nin.”
“Lalu?
Kita bermain api di belakangnya?”
“Saya
memang belum punya solusi atas semua permasalahan ini, yang saya tahu, saya
hanya mencintai kamu, itu saja.”
Aku
hanya tersenyum kecil mendengar ucapan Panji. Seorang yang bijaksana, yang mengetahui
banyak ilmu pengetahuan, seketika menjadi ciut saat dihadapkan pada
permasalahan cinta. Dia terus membujukku agar hubungan ini bukan saja sekedar
persahabatan, lebih dari itu, ia menginginkan agar kami terjalin dalam sebuah
ikatan yang lebih serius. Aku yang terlena manisnya kata-katanya,
membuatku mengiyakan apa yang Panji mau. kami sepakat untuk mengubah status
persahabatan menjadi pacaran, tepat tanggal 18 Desember 2014, di sebuah tempat
asing, di Jogjakarta.
***
Meskipun
status kami berubah, hari-hari yang kami lewati sama seperti sebelumnya. Tak
ada chatting, kami berdua lebih
memilih untuk membaca buku dan aktivitas lain yang lebih bermanfaat. Dia
sesekali menyambangi kosanku dengan membawa buku baru dan setangkai mawar kecil
dengan surat yang ia selipkan diantara lembarannya. Sekejap kami mengobrol di
pelataran kosan, bercanda renyah dengan aroma cinta di antara kami berdua.
Berjalan-jalan
di hari libur juga menjadi aktivitas rutin kami, tak perlu tempat mewah, yang
penting kami bisa mengusir kepenatan selama kuliah. Toko buku, pegunungan, atau
sekedar menonton pertunjukan daerah, menjadi tempat favorit kami.
Aku
sebenarnya merasa bersalah dengan apa yang aku lakukan bersama Panji. Bersalah
kepada wanita yang tidak aku kenal. Aku yang telah merebut waktu Panji untuk
bersamanya. Namun aku tidak punya pilihan lain, kuatnya rasa cinta yang aku
miliki, membutakan mata hatiku, aku hanya ingin Panji, sebab hanya dia yang
membuatku jatuh seperti ini, hanya dengan mengingatnya, dia mampu membuatku
tersenyum sendiri.
Panji selalu membujukku bahwa
kami akan baik-baik saja. Hubungan ini tidak untuk main-main, dia terus
meyakinkanku bahwa akhir dari cerita ini pasti akan sangat indah, itulah
mengapa aku memilih bertahan bersamanya, karena Panji yang membuatku kuat dan
percaya.
***
28 Desember,
Libur
semester telah tiba, saatnya aku kembali pulang ke kampung halamanku di
Bandung. Meninggalkan sejenak hiruk pikuk kota Jogjakarta, dan berpisah
sementara dengan Panji. Dia mengantarkanku ke stasiun kereta. Keretaku
berangkat pukul 7.45 menit. Kami terus berpegangan tangan, perpisahan ini
terasa semakin menyedihkan.
“Kamu
baik-baik ya di Bandung, jaga kesehatan, dan jaga hati, hehe.”
“Kamu
juga, Ji, jangan terlalu banyak aktivitas ya, kasian badan kamu sering kelelahan.”
Kami
tersenyum, lalu dia mencium keningku dan mengusap rambutku sekali lagi.
“Jangan
lupa temui pacar kamu,” ledekku.
“Saya
harus ke Bandung, dong?” kami tersenyum simpul.
Aku
menaiki kereta menuju ke arah Bandung, Panji membantuku membawakan tas dan
memasukkannya di atas kursi yang aku duduki. Saat kereta akan berangkat dia
berlari keluar. Di depan jendela, aku terus memandanginya. Ada rasa khawatir
yang menyelinap, dengan kepulanganku ini mungkin saja Panji akan memiliki
banyak waktu dengan tunangannya. Sebenarnya aku tak ingin berada dalam
keadaan seperti ini. Aku seperti benalu, menjadi perusak hubungan orang.
Ku
pejamkan mata berusaha tidak tenggelam dalam perasaan yang bersalah. Namun
bayang-bayang kemesraan Panji bersama tunangannya terus saja menghantuiku,
mengacaukan pikiran dan merusak mood ku
saat itu. Aku tak ingin pulang ke Bandung. Aku ingin terus bersama Panji. Di
sini.
***
Januari 2015,
Seharusnya
aku terbiasa dengan jarangnya Panji menghubungi aku, toh ketika di Jogja pun hubungan kami memang seperti ini. Namun
kali ini terasa ada yang berbeda, dia tidak lagi meneleponku. Terkadang sampai
dua hari, dia tidak memberiku kabar apapun, dan dalam keadaan seperti ini, aku
harus menghilangkan rasa malu dan memberanikan diri untuk menanyakan kabarnya
terlebih dahulu.
Jawaban
dari Panji yang singkat, atau dia yang berusaha untuk mengakhiri pembicaraan
yang baru kami mulai dengan beberapa alasan yang tidak masuk akal, membuatku sedikit
curiga. Sesibuk itu kah kamu, Ji, sampai
tidak ada waktu yang kamu sisakan untukku? Atau benar dugaanku bahwa kamu telah
kembali rukun bersama tunanganmu itu dan berusaha untuk melenyapkan aku dari
kehidupanmu?
Otakku
terus saja dipenuhi dengan berbagai dugaan, Panji yang tidak terbuka dengan
permasalahan ini membuatku bingung sendiri. Jarak kami yang sedang jauh juga
menjadi kendala hubungan kami berdua. Aku ingin segera kembali ke Jogja, tapi
liburanku masih tersisa beberapa minggu lagi.
Aku merindukanmu, apa kamu juga rindu padaku, Ji?
Merenung,
melamun, dan meneteskan air mata, menjadi agenda pengisi liburanku kali ini.
Jahat sekali Panji membiarkan aku dengan sejuta terkaan yang membuatku sangat
kecewa. Beberapa hari ku biarkan ia, dengan maksud agar ia yang menghubungi aku
lebih dulu, nyatanya setelah dua minggu berlalu, ia tetap tidak pernah menanyakan
kabarku.
Hubunganku
dengan Panji nyatanya tidak berjalan dengan baik. Perkataannya tempo hari hanyalah omong kosong belaka, sama sekali tidak ada artinya. Ingin ku akhiri semua ini,
tapi apa sanggup aku kehilangan dua sosok sekaligus? Pacar dan juga sahabat?
Kehilangan seseorang yang selalu membuatku bahagia dengan berbagai
petualangannya yang menyenangkan. Leluconnya yang selalu berhasil membuatku
tertawa terbahak-bahak. Dan romantisnya yang entah akan ku temui lagi atau
tidak. Sungguh ini keputusan yang sangat berat.
Tapi
untuk apa aku menahan seseorang yang tidak menginginkanku lagi. Dia telah
mencampakkanku, dia yang mungkin lebih bahagia bersama tunangannya. Dan aku?
Aku hanya angin rebut yang merecoki kehidupan mereka saja.
Seharusnya
aku tahu diri, tidak pantas aku menjadi bagian dalam kehidupan Panji. Dia sudah
tidak sendiri lagi. Ikatan antara Panji dan tunangannya pun bukan ikatan biasa.
Panji pernah berkata kepadaku bahwa keluarga mereka telah mengenal satu sama
lain. dan aku? Sekalipun aku belum pernah bertemu dengan orangtuanya.
***
Tidak
sabarnya aku mendapat penjelasan tentang hubungan ini membuatku kembali ke
Jogja lebih awal. Aku sempat memberitahu Panji bahwa aku akan ke Jogja esok
hari. Namun kecewanya aku saat tidak melihat Panji di stasiun kereta. Inikah
salahsatu tanda yang kau berikan tentang rusaknya hubungan kita berdua?
Aku
menaiki bus menuju ke kosanku. Setelah sampai, aku putuskan tuk rehat sejenak.
Aku tersenyum kecil melihat beberapa fotoku bersama Panji yang terpajang di
dinding kamarku. Ah, Indahnya masa kemarin. Mungkinkah ‘kan terulang kembali?
Sakit rasanya ketika tersadar bahwa kami yang sekarang bukanlah kami yang dulu
lagi. Kisah indah kami berdua harus ku tutup dengan derasnya air mata.
Aku
meminta Panji untuk bertemu, yang ku ingin hanyalah sebuah kejelasan. Terlalu
sulit rasanya jika harus digantung seperti ini. Aku siap mendengar apapun yang
akan dilontarkan Panji.
Di
cafeteria kami berjanji tuk membicarakan masalah ini. Aku datang lebih awal,
dan ku pesankan ia secangkir kopi susu panas dengan roti bakar coklat
kesukaannya. Aku sudah tidak sabar menunggu kedatangannya. Namun
apa yang ku lihat? Panji datang bersama wanita cantik berkerudung merah yang ia
gandeng tepat di sampingnya. Ku tundukan kepala sejenak, mengatur tempo
bernafasku, ku perbaiki raut mukaku agar terlihat baik-baik saja.
“Apa
kabar Nin?” ucap Panji.
“Baik,
silahkan duduk. Halo, Saya Nina,” ku sodorkan tangan kananku kepada wanita itu,
dia membalasnya dengan senyum simpul di bibirnya.
“Assalamualaikum,
saya Anisa,” balasnya.
Aku
duduk berhadapan dengan Panji. Sedikitpun aku tidak menunjukan muka kesalku,
semua ku sembunyikan karena aku menghargai keberadaan Anisa.
“Panji
yang mengajakku untuk ikut bersamanya,” dia berbicara sambil tersenyum ke arah
Panji.
Apa-apaan ini!!! Teriakku di dalam hati. Aku hanya tersenyum kecil
mendengar omongan Anisa. Sejenak kami terdiam, tak ada yang memulai
pembicaraan, sampai pelayan datang membawakan makanan yang aku pesan.
“Ku
pikir hanya Panji saja yang datang, jadi baru ku pesankan untuk kami berdua,”
“Tidak
apa-apa, ini untuk Anisa saja, saya bisa pesan lagi nanti,” jawab Panji.
“Tidak
usah Mas, ini untukmu.”
“Tidak
apa-apa, Nis, mas bisa pesan lagi,”
jawabnya lembut sambil tersenyum.
“Ya
sudah, mari kita makan dulu saja, saya sudah sangat lapar,” ucapku tegas.
tak
ada lagi kata yang terucap, aku fokus melahap makanan yang ada di depanku.
Benci sekali aku melihat tampang Panji saat itu.
“Aku
permisi sebentar,” ucap Anisa yang langsung pergi ke belakang.
“Jam
berapa kamu sampai di Jogja?” tanya Panji.
Aku
diam dan tidak menjawab pertanyaan dari Panji.
“Kamu
marah?”
“Jelas
aku sangat marah, Ji. Semua yang kamu lakukan ini, jahat!”
“Maafkan
saya Nin, tapi saya tidak punya pilihan lain,”
“Apa kata maafmu bisa mengobati lukaku karena ulahmu? Kamu ini punya otak nggak sih?!”
“Apa
yang kamu inginkan dari saya agar semua menjadi impas?”
“Maaf
menunggu lama,” Anisa datang menghentikan perdebatan kami berdua.
Setelah
makan kami selesai, kami mulai membuka pembicaraan.
“Mba Nina ini teman kampusnya Mas Panji?”
Aku
hanya mengangguk,
“Mas Panji sering bercerita tentang Mba Nina kepada saya. Mas Panji bilang, kalau Mba Nina ini temannya yang paling akrab.”
Lagi-lagi
aku hanya tersenyum.
“Terimakasih
sudah mengajak saya bersilaturahmi, tapi maaf saya tidak bisa lama-lama berada
di sini, ada urusan lain yang harus saya kerjakan, ndak apa-apa, kan?”
“Mas antarkan
ya,”
“ndak usah, mas kan masih ada perlu dengan mba
Nina, saya bisa pergi sendiri, kok. Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam,”
Jam
dinding berdetak begitu kencang. Aku memandangnya dengan muka yang teramat
kecewa. Dia hanya menunduk, sesekali memandang mataku, lalu menunduk lagi.
“Apa
maksud kamu dari semua ini?”
“Saya
tidak bermaksud apa-apa, saya hanya ingin kamu kenal dengan Nisa,”
“Lalu
membuatku semakin terluka?! Itu yang kamu mau?”
Kami
terdiam, bisu.
“Kemana
kamu selama dua minggu ini? Sesibuk itu kah kamu sampai kamu tak pernah ada
waktu untuk menghubungi aku?”
“Hubungan
kita tak akan berhasil,” ucapnya lemas.
“Karena
kamu yang tidak bisa melepaskannya, kan?! Harusnya aku sadar, selama ini kamu
hanya membodohi aku, tak pernah ada niatan serius dari kamu! Kamu pikir aku ini apa?! Sekuat-kuatnya
aku, aku tetap saja perempuan, aku punya hati, rapuh sekali. Dan kamu, seenak
jidat mempermainkan perasaanku seperti ini!”
Bulir
air mataku jatuh, turun membasahi hatiku yang terbakar api cemburu. Wajahku berubah
lesu. Aku harus kuat, aku harus kuat.
“Kita
sudahi saja drama memilukan ini,” ucapnya tegas.
“Tepat! cepat
atau lambat kamu pasti akan mengatakan hal ini. Kamu memang tak ingin
memperjuangkan aku. Aku bagimu tak pernah ada artinya. Kata sayang yang terucap
hanya sampai di bibir saja, tak pernah sedikitpun menyentuh relung hatimu."
aku terdiam sejenak,
"Baiklah
jika ini memang mau kamu, aku juga gak
bisa apa-apa.”
"Tapi Nin, kita masih bisa berteman,"
Aku
berlalu meninggalkannya tanpa sepatah kata. Ku tutupi mataku dengan kacamata hitam
agar sembab mataku tidak terlihat.
Kini
aku berkalang sepi untuk waktu yang cukup lama, tapi aku tahu bahwa selalu ada
cerita dibalik semuanya. Tentang bagaimana sebuah buku bisa tercetak, lukisan
yang bisa tergantung di dinding, bagaimana sebuah luka membekas diwajah, kadang
ceritanya sederhana, dan kadang keras dan menghancurkan hati. Tapi di balik
semua itu, terselip sebuah makna yang harus menjadi pelajaran, suka ataupun
tidak. Dan satu hal yang terpenting, petualangan cintaku belum berakhir.
To be continue.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus