Seperti biasa, di musim penghujan duka itu selalu datang. Keinginan untuk berbahagia di hari kelahiran berbanding terbalik dengan suasana yang yang selalu aku rasakan. Tak pernah ada tawa, berbangga apalagi berpesta, semua aku lewati dengan kesepian, kesedihan, penyesalan, dan harap yang selalu aku semoga kan.
***
Ibu, tepat di tanggal ini engkau berjuang dengan segenap jiwa, ikhlas merelakan nyawa hanya untuk melahirkan aku ke dunia. Tepat di tanggal ini pula engkau meninggalkan aku, menyisakan air mata yang mengalir deras mengiringi setiap hembusan nafas.
dua puluh satu tahun yang lalu, pada keluarga, ibu memberikan kabar suka sekaligus duka. Betapa tidak, ibu yang di diagnosa tidak bisa memiliki keturunan, oleh Tuhan diberi keajaiban dengan kehadiranku di tengah penantian panjang. Dengan do'a yang selalu ibu panjatkan, terwujudlah keinginan ibu untuk memiliki permata hati yang dirindukan.
Sembilan bulan ibu menahan sakit, dengan perasaan yang ku yakin bahagia, ibu mengandung janin yang ternyata membawa pada malapetaka. Rawannya kondisi ibu saat itu, membawa ibu pada dua pilihan sulit, menggugurkan aku atau merelakan nyawa ibu dan membiarkan aku untuk tetap hidup. Keberanian ibu untuk mempertahankanku ternyata membuat ayah cemas. Sungguh ayahlah yang berada pada kegamangan yang luar biasa. Ia harus memilih antara Istri yang dicintainya atau anak yang telah lama diharapkannya. Tapi ayah tak bisa berbuat banyak, keinginannya agar aku dan ibu selamat adalah ketidakmungkinan yang mustahil dapat terwujud. Dan pilihan ibu membawa pada hadirnya tangisanku sekaligus tanda berakhir pula kehidupan ibu di dunia.
Kini umurku terus bertambah, tanpa terasa aku melewati hari dengan kerinduan yang selalu memenjarakan aku pada penyesalan karena akulah sebab engkau di panggil Tuhan, tapi ini takdir Sang Maha Kuasa, Ia yang memberiku jalan kehidupan walaupun harus di mulai dengan cara yang teramat menyakitkan. Ibu pergi tanpa menyampaikan salam perpisahan, ibu abai pada tangisku saat itu, tak terpikir kah pada nasibku yang harus berjalan sendirian tanpa kasih sayang ibu? Tak adakah keinginan ibu untuk tetap bertahan dan melanjutkan kisah baru bersama putri kecil yang ibu damba-dambakan? Kenapa ibu harus menyerah dan memilih pulang?
Di ruang baca ibu, aku memandang raut wajah dengan senyum teduh yang terpajang. Pecah tangisku saat ini bu, aku rapuh dan tak berdaya. Bersama lilin kecil di atas sepotong kue ku panjatkan do'a agar aku bisa bertemu dan memeluk ibu di singgasana-Nya kelak.
Henim
Di ruang baca ibu, aku memandang raut wajah dengan senyum teduh yang terpajang. Pecah tangisku saat ini bu, aku rapuh dan tak berdaya. Bersama lilin kecil di atas sepotong kue ku panjatkan do'a agar aku bisa bertemu dan memeluk ibu di singgasana-Nya kelak.
Henim
Komentar
Posting Komentar