Demi
senja yang mengantar bumi pada gelap
Izinkan
aku mengukir rindu pada batasnya
Karena
Maha Langit berkuasa atas aku dan sang pemanah asmara
“Petikan puisi yang pertama kali aku tulis ketika
aku mulai merasakan perasaan yang meresahkan. Ketika mulut tak sanggup berkata,
di buku diarylah aku banyak
bercerita.”
Suara gaduh, bunyi lonceng, teriakkan, canda tawa,
haru biru, selintas hadir dihadapanku, mendesakku kembali bernostalgia dengan
angan yang tak pernah menjadi realita. Sepenggal kisah yang tergoreskan dalam
benak, sulit hilang, semakin aku berusaha melupakan, semuanya semakin kuat bertahan
dalam ingatan.
Halo Dion, Aku Olly, kau ingat dengan nama
legendaris itu? Nama yang disematkan orangtuaku sejak lahir yang kau kenal
sejak kita sama-sama memasuki SMA. Kata orang aku ini
gadis pendiam dengan beban masalah yang luar biasa, ada lagi yang menyebutkan
aku ini tak seperti manusia kebanyakan, seringnya aku menyendiri membuat mereka
menilai aku dengan kemauannya sendiri. Aku hanya tersenyum menghadapi pikiran mereka
yang dangkal, yang hanya mengetahuiku dari luar saja tanpa ingin mengenaliku
lebih dalam, tetapi mana mungkin mereka mau? dulu aku terlalu tertutup dan
memilih hidup terasing tanpa teman dan sahabat dekat, dan wajar
saja kalau mereka lebih percaya pada kabar tentangku yang yang mengatakan bahwa
aku ini… kau tentunya lebih tahu, Dion.
“Hujannya
semakin deras, kau yakin akan tetap di sini?” ujarmu.
Aku ingat sekali kalimat pertama di awal pertemanan
kita. Kala itu aku berusaha menghindari hujan agar tidak kebasahan, kita
berteduh di tempat yang sama, di bawah pohon rindang di depan gerbang sekolah.
Aku biarkan rambutku yang terurai panjang menutupi wajahku, aku terlalu malu bertemu
orang yang belum aku kenal, tak sengaja aku melirikmu dan melihatmu yang sedang
berusaha keras merapihkan rambut mungkin agar tidak berantakan. Aku terus
menunduk dan kau pun mulai mengajakku bicara.
Percakapan di awal pertemuan kita tak ada yang
berbeda, sama seperti yang lain, semuanya datar tak lebih dari perkenalan biasa.
Namun entah apa yang menjadi alasan, aku merasa bahwa kehadiranmu adalah mimpi
indah yang tak pernah ku duga sebelumnya. Rangkaian kata sederhana tiba-tiba berubah menjadi
hal yang sangat istimewa.
Hingga waktu terus membawaku terjebak dalam kondisi
yang serba salah. Lambat laun aku mulai mengagumimu, tingkah laku dan senyumanmu
membuatku semakin terpesona. Ah Dion, sesingkat ini kau membuatku jatuh cinta.
“kau terlalu
indah untuk aku miliki..” pikirku lemas. Pesimis dan tak tahu diri, harusnya
aku sadar siapa aku, hanya gadis biasa yang tak punya kemampuan apa-apa. Ranking tak punya, wajah di bawah standar
dan penampilan pun tak menarik, “lantas
apa yang akan aku banggakan dariku nanti”. Tapi kau, dulu kau punya
segalanya, Dion. Kau pintar, parasmu tampan, temanmu banyak, kau suka bermain gitar,
dan tak kalah menarik dibidang organisasi kau sempat menempati posisi sebagai wakil
ketua OSIS. Pantas saja banyak wanita yang tergila-gila setengah mati padamu.
Berbulan-bulan aku hanya berani memandangimu dari
jauh, berharap pada satu kesempatan mata kita bertemu dan kau mulai menyadari
adanya getaran yang selama ini aku rasakan. Nyatanya sedikit pun kau tak pernah
melirikku, kau terlalu sibuk dengan duniamu, kau tak pernah sadar akan
kehadiranku yang berharap mampu membangun secuil kisah denganmu.
Namun daun tak pernah membenci angin yang telah
membuatnya jatuh, bukan? begitu pun aku yang tak pernah menyalahkanmu atas perasaan yang
mulai tumbuh, walau sering sekali aku dibuat kecewa karena beberapa wanita
cantik selalu berhasil menaklukan hatimu, dan dalam keadaan kacau seperti ini
aku hanya bisa pasrah menerima kenyataan bahwa kau telah dimiliki orang lain. Bodohnya,
meski sering terdahului aku tetap bertahan pada rasa yang sama, tak pernah terlintas
dipikiranku untuk aku beralih ke hati lain. Kau idamanku, Dion.
Lama aku berusaha mencintaimu dalam diam,
dalam hening, dan dalam kesepian. Aku tak ingin satu orang pun tahu tentang
perasaan yang menyebalkan ini, cukup aku dan buku diaryku. Hingga pada akhirnya, semua skenario yang aku tutup-tutupi
terbongkar sudah. Terlalu banyak mata yang mecurigai gerak-gerikku terhadapmu,
mereka seperti paparazzi handal yang
mampu mengetahui banyak hal.
Tak ku sangka reaksimu di luar dugaan, sejak kau mengetahui bahwa aku
mencintaimu dengan
sengaja kau menjauhiku dan menunjukkan sikap benci kepadaku, kau seolah menjadikan
aku seperti orang yang sama sekali tak berharga. Kau mulai menjauh, kau seperti tak mengenaliku, kau yang tak
pernah lagi menyapaku, dan aku seperti orang asing dimatamu. Dion, tahukah kau
betapa tersiksanya menjadi aku?
kebencianmu kepadaku semakin luar biasa, tak
segan-segan kau mempermalukanku di depan umum. Ingatkah kau kejadian saat kita
berlatih teater bersama, kau bilang aku terlalu jelek bahkan untuk peran nenek
sihir sekalipun. Saat itu kau tertawa puas, bersama teman-temanmu kau terus
saja mengejek dan mengangguku.
“lantas ada yang salah dengan wajahku ini?” ucapku
tegas sambil menahan air mata agar tidak turun. Setidaknya aku tidak ingin
terlihat lemah di depan orang yang aku sayang.
“gadis hitam, dekil, semerawut, kau tak pantas ada di sini, harusnya kau bergabung
dengan geng Cupuks, kumpulan
anak-anak culun! tidak bersama kami!” sentakanmu membuat bumi sedikit
tergoncang, ucapanmu seperti petir yang menyambar tepat di relung hatiku. Kau jahat,
Dion. Sudah cukup sakit hatiku karena tak memilikimu kini kau tambah dengan
segala kelakuanmu yang membuatku semakin kecewa. Atas landasan cinta, aku tak
mampu menyelamatkan diriku sendiri, bodoh karena aku yang tak bisa bangkit dari
kesengsaraan ini.
Dion, bukan hal mudah menganggapmu tak ada,
berpura-pura atas perasaan yang tumbuh semakin kuat walau kini kau telah
berbeda. Kau memaksaku melakukan semua ini, secara perlahan kau menuntunku
untuk membencimu, tapi aku tak pernah bisa.
Tetapi waktu memaksaku untuk berpikir lebih
realistis, antara rasa dan logika keduanya harus ada dalam takaran yang sama.
Setelah pemikiran panjang Aku memutuskan untuk tidak mendekatimu lagi, terpaksa
aku membuang jauh-jauh mimpi indah yang sempat aku gantungkan kepadamu, karena
melupakanmu adalah hal yang harus aku lakukan. Sulit memang, tapi itu yang kau
inginkan, bukan?
Setelah lulus SMA aku yakin untuk pergi dari
kehidupanmu. Aku memilih melanjutkan sekolah ke luar kota karena aku tidak
ingin bertemu kau lagi, terlalu sakit rasanya melihat wajah yang telah
menghancurkan mimpi sederhana seorang gadis sepertiku. Namun aku tak lantas menyerah,
dengan hinaanmu yang terus terngiang aku melangkah jauh ke depan. Aku ingin
mengubah takdirku karena aku muak menjadi sosok yang terus disia-siakan.
Setelah lima tahun berlalu, seperti apa kau
sekarang? Sama menyebalkan kah seperti waktu itu? Aku berharap tidak, Dion. Karena
aku pun sudah berusaha menjadi Olly yang lebih baik. Cukuplah dulu aku menjadi
orang yang tak berguna, kini aku bahagia karena cinta yang sebenarnya telah ku
gantungkan kepada Sang Pemilik Cinta, Dia yang senantiasa menemaniku dalam
kesendirian, menerangiku dalam gelap, dan yang tersisa kini hanya sesalku yang
dulu buta akan cinta yang sementara.
Lima tahun ini aku mengalami banyak sekali peristiwa
yang luar biasa, ternyata dunia terlalu luas untuk aku yang hanya terperangkap
pada masalah yang tiada artinya. kedewasaan telah menuntutku untuk berpikir
lebih positif dan mengabaikan hal-hal yang hanya memikirkan masalah yang tidak
berguna.
Dalam perjalananku, aku berhasil menemukan jati diri
yang sebenarnya. Tak memiliki wajah cantik bukan alasan untuk aku menutup diri
dan tidak berteman. Kepercayaan diriku yang meningkat telah membawaku menjadi
aktor yang hebat. Kau tahu Dion, cita-citaku untuk bermain di atas panggung yang
di dekor, dengan dirias dan mengenakan kostum, bermain di belakang lampu-lampu
kaki dengan disertai segala macam peralatan, telah aku wujudkan. Aku berhasil
membuat ribuan penonton terpesona dengan alur cerita yang aku mainkan, karena aku
membiarkan tanganku, kakiku, otot-otot wajahku bermain tanpa aku rencanakan. Aku
menempatkan diriku dalam suatu keadaan yang sesuai dengan keadaan yang ditempati
watak yang aku mainkan, persis seperti yang dikatakan Pak Prouw dulu, pelatih
teater kita.
Ah Dion, terima kasih telah membuat masa remajaku
lebih berwarna. Tanpamu, mungkin aku tak pernah mengenal cinta yang sebenarnya.
Terima kasih juga karena telah menolakku, dengan begitu aku lebih sering
bercermin dan mengenali diriku lebih dalam sehingga aku berhasil menemukkan
potensi yang aku miliki. Dan terima kasih telah mengajakku hidup dalam kenyataan,
setidaknya aku tak pernah menggantungkan cinta lagi selain cinta hanya kepada-Nya.
Terima kasih, Dion.
Salam,
Olly
Komentar
Posting Komentar