![]() |
Gambar: doc.google |
"Ku terjaga
dalam gulita malam
Cahaya berkedip, redup
Tertelan pekatnya langit
Lalu menghilang."
***
Pagi menjelang, dari ufuk timur mentari seperti enggan bersinar, cahayanya semi tertutup oleh awan kelabu yang menggantung. Suara jangkrik terdengar riang meski dari kejauhan, gemercik air dari pesawahan samping pondok Ningsih sedikit menenangkan jiwanya yang sedang resah sedari malam.
Ningsih masih terpaku, ia berdiri tegak dengan tatapan hampa. Sudah hampir tiga bulan Ningsih berada jauh dari tempat tinggalnya di Bekasi. Setelah kejadian yang membuatnya trauma, Ningsih enggan kembali pulang. Ia seperti terdampar, menjauh dari keluarga, teman dekat, bahkan pekerjaan yang terpaksa ia tinggalkan. Baru dua kali Ibunya menengok Ningsih di pondok tempat ia berada sekarang. Di usianya yang baru 18 tahun, ia harus kehilangan segalanya. Ningsih yang dulu ceria kini terlihat sering melamun, tiba-tiba meneteskan air mata, sesekali ia menjerit, sesak dadanya kala ia teringat kejadian tiga bulan lalu yang merenggut masa depannya, karena nafsu bejat dari orang yang tidak ia sangka.
Di pondok tempatnya tinggal, Ningsih tidak banyak melakukan aktivitas. Baru kali ini Ningsih mau keluar dari kamarnya, walaupun hanya sebatas berdiri di antara jendela-jendela pondok untuk menghirup angin segar. Kejadian tiga bulan lalu membuat Ningsih benar-benar kehilangan semangat untuk melanjutkan hidup. Perutnya yang terus mengembang, membuat Ningsih semakin menderita.
Moment bahagia yang sedang Ningsih rancang bersama keluarga besarnya, pupus sudah. Pernikahan yang tinggal menghitung tanggal hancur lebur oleh kejadian menyakitkan yang menimpa Ningsih. Saat itu, 27 Februari kira-kira pukul 11 malam, sebuah kontrakan kumuh daerah Bekasi menjadi saksi bisu betapa kejadian memilukan itu benar-benar menimpa dirinya. Kemalangan Ningsih dimulai ketika ia baru saja keluar dari pabrik tekstil tempatnya bekerja. Seorang lelaki bertubuh tambun menghampiri Ningsih. Sedikitpun Ningsih tak menaruh curiga, mengingat bahwa lelaki itu adalah ayah dari pacarnya. Hanya saja Ningsih heran, sedang apa calon mertuanya berada di sini? Ini hampir tengah malam. Pikirnya.
"Ningsih, ayo ikut Om!"
Tanpa basa-basi, calon mertua Ningsih -sebut saja namanya Plee- memegang lengan Ningsih dengan sangat kencang. Ia dibawa masuk ke dalam mobil yang Plee parkir 10 meter dari gerbang pabrik.
"Tapi saya sedang menunggu Andre, Om."
"Andre tak akan datang!" Sentak Plee yang membuat Ningsih ketakutan, tingkah laku Plee yang aneh membuat dada Ningsih berdebar kencang.
Mobil melaju cepat menembus keheningan malam. Hanya butuh waktu 15 menit mereka berdua tiba di sebuah gang kecil. Ningsih kemudian diseret menuju kontrakan kumuh yang berjarak kira-kira 13 meter, bangunan yang berukuran 4x5 meter, diterangi lampu 5 watt, terasa pengap dan sangat dingin.
Ketakutan Ningsih semakin memuncak, tubuh kecilnya gemetar, ia berusaha berpikir positif meski dalam keadaan yang mencengkam.
"Duduklah!" Ucap Plee.
"Ada apa Om membawa saya kemari?" Tanya Ningsih dengan nada suara yang gemetar.
Sejenak Plee diam, kemudian dia meneguk minuman keras yang tersimpan di meja.
"Kita akan berpesta Ning, berpesta... pesta tengah malam!" Ucap Plee sambil mengacung-ngacungkan botol minuman keras.
Ningsih semakin dibuat takut, mukanya memucat, nafasnya kini tak beraturan. Ia ingin lari secepat mungkin, namun harus kemana ia menuju, ia sama sekali tidak tahu dimana ia berada, kondisi Ningsih yang kelelahan pun menghambat keinginannya untuk keluar dari kontrakan kumuh itu.
Plee yang berada di bawah pengaruh alkohol kemudian mendekati Ningsih, lelaki paruh baya yang memiliki kelainan seksual itu tanpa basa-basi langsung melayangkan tamparan berkali-kali. Lelaki bejat itu tertawa, giginya mrongos, maju. Tamparan Plee membuat Ningsih lemas tak berdaya, kemudian ia diseret ke kamar mandi. Rambut Ningsih dijambak dan kepalanya dibenamkan ke dalam westafel yang sudah berisi air.
Setelah Plee puas melakukan penyiksaan terhadap Ningsih, ia dibiarkan beberapa saat, sampai pada akhirnya, kejadian memilukan itu benar-benar merampas masa depannya. Ningsih memohon agar keperawanannya tidak direnggut, namun apa daya, nafsu bejat Plee sudah tidak bisa terbendung. Ningsih terus berontak, sayang, tak ada yang bisa mendengar rontaan gadis malang itu, kontrakan kumuh yang jauh dari rumah penduduk, tidak memungkinkan siapapun untuk menolong Ningsih.
Ningsih meringis kesakitan.
Sumedang-Bandung, 01 April 2018
Komentar
Posting Komentar