Langsung ke konten utama

SOSIAL | Dekonstruksi Gender terhadap Perempuan dalam Masyarakat Kultural


Perempuan adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dengan segala keistimewaan, dari rahimnya, terbentuk calon manusia unggul, mereka manusia para tonggak perubahan yang hadir pada tiap kurun waktu tertentu. Perempuan dilahirkan sebagai penyeimbang kehidupan, pendamping kaum Adam, melahirkan dan mendidik generasi baru untuk mencapai masa depan dunia yang gemilang. Namun perempuan seringkali dikonstruksikan sebagai makhluk sosial yang rapuh, ia dianggap tidak bisa tegak berdiri tanpa bantuan dari laki-laki. Konstruksi gender yang melekat pada pemikiran masyarakat hanya memposisikan kaum perempuan pada wilayah domestik, selazimnya perempuan hanya mengurus berbagai keperluan rumah tangga tanpa harus bersusah payah membangun karier, karena pada akhirnya perempuan akan kembali kepada tugas mengurus keperluan dapur.
Keseteraan gender diperkenalkan di Indonesia lebih awal oleh R.A. Kartini, yang selanjutnya lebih digaungkan oleh para kaum feminis, sedikitnya telah membawa banyak perempuan pada pemikiran yang lebih maju. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa kebangkitan perempuan tersebut masih saja tersumbat oleh adanya stigma masyarakat terhadap perempuan yang berkarier di wilayah publik, dipandang sebagai perempuan yang lari dari tanggung jawab, dan lebih memprioritaskan keinginan pribadi daripada fokus mengurus keluarga. Hal tersebutlah yang kemudian menghadirkan ketimpangan gender, adanya ketimpangan struktur di wilayah yang ditinggalinya dan justru sering tidak disadari oleh kaum perempuannya sendiri. Ketimpangan tersebut akan menguntungkan kaum laki-laki dan merugikan kaum perempuan. Ketika laki-laki memiliki kebebasan untuk menciptakan jalan kehidupannya, perempuan justru terpenjara pada stereotif masyarakat yang menganggap bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang diam di rumah. Pun ketika perempuan diberikan kebebasan untuk berkarier di wilayah publik, ia tetap saja dibebankan untuk menjadi perempuan yang sempurna ketika ia berada di tengah-tengah keluarga. Menurut Aquarini Priyatna, seorang akademisi penganut faham  feminis di Indonesia, menganggap bahwa menjadi perempuan yang diharuskan selalu credible di luar rumah dan perfect di dalam rumah adalah bentuk kekerasan terhadap kemanusiaan perempuan. Namun lagi-lagi, perempuan selalu dibatasi oleh nilai dan norma di masyarakat yang menempatkan ia pada sesuatu yang tidak adil. Tidak peduli pada lelahnya perempuan setelah melakukan pekerjaan di luar rumah, ketika sampai di rumah ia diwajibkan untuk mencuci pakaian, menyetrika, memasak, mencuci piring, menyapu, mengepel lantai, dan berbagai pekerjaan lainnya yang dianggap perkerjaan tersebut sungguh-sungguh hanya pekerjaan milik perempuan saja. Lalu timbul pertanyaan dalam pikiran saya, kenapa urusan rumah tangga tersebut hanya dibebankan kepada perempuan, sedangkan laki-laki terkesan enggan untuk mengerjakannya? Padahal sama halnya seperti laki-laki, perempuan pun memiliki titik lelahnya sendiri, ia tidak bisa jika harus sama sempurnanya ketika sedang berada pada dua posisi yang berbeda.
Belum lagi dengan hadirnya ideologi patriarki yang sangat kental dengan budaya Indonesia khususnya di tanah Jawa sejak zaman pra-penjajahan, yang ditandai oleh kuasa dan dominasi laki-laki terhadap perempuan, semakin menempatkan perempuan pada posisi yang sulit bergerak. Beruntung Indonesia sempat memiliki pahlawan Nasional perempuan yang tercatat walau tidak banyak, yang memiliki jasa dalam hal kebangkitan perempuan, membawanya pada masa kebebasan berfikir dengan memiliki hak mendapatkan pendidikan yang sama dengan kaum laki-laki. Namun perubahan tersebut dirasa belum merata, konsep patriarki masih terdapat pada mayoritas masyarakat kita, perempuan masih saja terjebak pada posisi subordinat di bawah kuasa laki-laki.
Hemat saya, laki-laki dan perempuan baiknya bersifat fleksibel terhadap perubahan dan tuntutan yang dibutuhkan. Keduanya tidak hanya berdiam pada posisi yang telah ditempatinya sejak ratusan tahun yang lalu. Laki-laki tidak terlena pada haknya yang memiliki kuasa ketika dihadapkan pada ideologi pratiarki, toh tidak ada salahnya ketika laki-laki rela turun ke bawah membantu peran perempuan untuk menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga. Dan perempuan, ia berhak untuk menyeimbangi peran laki-laki di wilayah publik, sebab perempuan pun bisa melakukan dan menjadi apa saja, tidak ada sekat dan ruang yang dapat membatasi mimpi dan kemampuan mereka. Wilayah domestik dan publik adalah milik laki-laki dan perempuan, keduanya memiliki peranan penting untuk keberlangsungan umat manusia dimasa sekarang dan masa yang akan datang. Idealnya adalah antara laki-laki dan perempuan harus saling berbagi peran yang setara, saling menunjang dalam hal keinginannya masing-masing, saling bertukar dan menghargai pendapat, saling memberikan kebebasan, dan jangan lupa untuk saling mengasihi satu sama lain.

oleh: Heni Meliyanawati

Cileunyi, 11 Mei 2017.
Selamat merayakan hari Waisak 2561 :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUDAYA | KESELARASAN JAMPÉ UBAR HATÉ DENGAN HADIST NABI (tentang kuatnya doa orang yang teraniaya)

Oleh: Heni Meliyanawati Tahukah anda bahwa Desa Ciparakan yang terletak di Kecamatan  Kalipucang, Pangandaran  merupakan gudangnya ilmu  mantra ?  Di desa ini  berbagai jenis  mantra  mudah sekali ditemukan dan ternyata masyarakatnya pun masih menggunakan  mantra dalam kehidupannya sehari-hari. M ulai  dari mantra yang digunakan untuk memulai suatu pekerjaan ( Jangjawokan ), mantra untuk menyembuhkan penyakit ( Jampé ), mantra dalam urusan menguasai jiwa yang lain ( Asihan ), mantra agar memiliki kekuatan ( Ajian ), mantra agar tidak diganggu oleh bangsa jin ( Singlar ), dan mantra yang digunakan untuk keselamatan ( Rajah ). Mantra sebagai salah satu karya sastra puisi  buhun  (kuno) lahir dalam masyarakat Sunda primitif. Menurut  Hauser (dalam Faruk, 2013:12), kesusastraan zaman primitif ini terbagi menjadi dua, yakni ketika masyarakat masih dalam pola produksi sebagai masyarakat berburu, misalnya, seni cenderung meniru alam karena berfungsi sebagai kekuatan yang secara la

30 HARI BERCERITA | 01. Bismillah, mulai yuk!

Assalamu'alaikum, pembaca yang budiman. Selamat pagi di hari yang cerah ini ya, selamat beraktivitas dan jangan lupa bahagia. Oh iya, untuk setiap aktivitas yang kita lakukan ada baiknya kita niatkan sebagai media untuk beribadah kepada Allah SWT, InsyaAllah berkah, dan semoga Allah mudahkan jalan kita semua. Aamiin. Hari ini saya akan memulai sesuatu yang sejak lama ingin saya lakukan, yakni menulis secara terus menerus tanpa ada jeda barang sehari pun. Awalnya ragu sih untuk memulai, takut gak bisa. Lah gimana saya mau nulis di blog yang mesti panjang, wong bikin caption satu paragraf aja kadang susahnya setengah mati. B elum lagi mengatur mood yang kadang bikin jengkel sendiri, hari ini semangat nulis, besoknya hmmm ga tau deh. Hehe. Eh tapi, kalau ga dimulai sekarang mau kapan lagi? Toh sejak dulu saya hanya terperangkap pada sesuatu yang berupa ketakutan saya saja. Jadi, dari pada bersembunyi dibalik kelemahan saya, lebih baik saya mulai tuk melangkah. So, let's sta

NHW #6 Belajar Menjadi Manager Keluarga Handal | Heni Meliyanawati

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh Apa kabar pembaca yang budiman? Gak kerasa ya sudah hari Minggu lagi, dan seperti biasa, di hari Minggu malam ini adalah jadwal saya untuk merampungkan Nice Homework saya untuk program matrikulasi batch 7 di Institut Ibu Profesional.  Di NHW kali ini, saya belajar tentang cara menjadi manager keluarga yang handal. Bisa dibilang NHW kali ini adalah NHW yang paling saya favoritkan, kenapa ? Karena saya menjadi tahu tugas spesifik menjadi ibu itu seperti apa, dan NHW kali ini bisa membantu saya untuk menyusun kegiatan sehari-hari agar lebih terstruktur dan bisa lebih fokus ke pekerjaan yang harus diprioritaskan, hampir mirip dengan NHW #2 ya. Namun sebelum ke bagian inti, tidak seperti biasanya, saya ingin berbagi materi yang telah disusun oleh tim matrikulasi IIP batch 7 mengenai IBU MANAGER KELUARGA HANDAL. Selamat membaca! *Motivasi Bekerja Ibu* Ibu rumah tangga adalah sebutan yang biasa kita dengar untuk ibu yang